Sabtu, 06 Februari 2010



http://incrediblethings.com

Dance with My Father Again - Luther Vandross



Back when I was a child
Before life removed all the innocence
My father would lift me high
And dance with my mother and me and then


Spin me around till I fell asleep
Then up the stairs he would carry me
And I knew for sure
I was loved


If I could get another chance
Another walk, another dance with him
I'd play a song that would never, ever end
How I'd love, love, love to dance with my father again


Ooh, ooh


When I and my mother would disagree
To get my way I would run from her to him
He'd make me laugh just to comfort me, yeah, yeah
Then finally make me do just what my mama said


Later that night when I was asleep
He left a dollar under my sheet
Never dreamed that he
Would be gone from me


If I could steal one final glance
One final step, one final dance with him
I'd play a song that would never, ever end
Cause I'd love, love, love to dance with my father
again


Sometimes I'd listen outside her door
And I'd hear her, mama cryin' for him
I pray for her even more than me
I pray for her even more than me


I know I'm prayin' for much too much
But could You send back the only man she loved
I know You don't do it usually
But Lord, she's dyin' to dance with my father again
Every night I fall asleep
And this is all I ever dream

…dan akhirnya saya semakin mengerti.

Hidup berpisah dari keluarga boleh dibilang menjadi hal baru yang benar-benar aku inginkan sejak sekolah. Aku berpikir dengan tinggal jauh dari orang tua, aku dapat melakukan setiap hal yang aku inginkan tanpa harus ada campur tangan orang lain. Mengatur keuangan, menjalankan studi, bergaul, atau hal lainnya yang dapat membuat hidupku menjadi lebih baik.
Dan benar saja. Setelah hidup jauh dari orangtua aku dapat melakukan setiap hal yang aku inginkan. Rasanya benar-benar menyenangkan. Bayangkan rasanya bisa hidup bebas setelah selama bertahun-tahun hidup dalam kontrol ketat orang tua yang aku pikir kadang benar-benar jauh dari kata toleransi. Semuanya serba dibatasi.
Awalnya semua terlihat baik-baik saja. Sampai akhirnya aku mulai menyadari bahwa hidup tidak semudah dan semenyenangkan yang aku bayangkan. Masalah awalnya sepele, aku tidak dapat mengatur keuangan dengan baik. Orangtuaku masih belum mampu memberikan uang bulanan yang cukup. Awalnya aku sedikit kesal, tapi akhirnya aku memutuskan untuk hidup mandiri, mencoba mencari sendiri solusi yang aku butuhkan. Dan bukannya membaik, kehidupanku makin kacau. Terlebih lagi waktu orang yang selama ini aku anggap sebagai sahabat, orang yang benar-benar aku andalkan memutuskan untuk pindah kuliah.

Sejak ia memutuskan untuk pindah kuliah, aku mulai kehilangan figur seseorang yang benar-benar bisa aku andalkan waktu aku merasa tidak ada jalan lagi. Dan benar saja, semakin lama kehidupanku semakin rusak. Aku mulai mencari pelarian dengan rokok dan alkohol. Mabuk membuatku mulai melupakan hal-hal yang tidak ingin aku alami tapi pada kenyataannya harus aku alami. Aku memang menemukan sahabat-sahabat baru yang mendukungku dengan cara mereka sendiri dan aku bersyukur menemukan mereka. Mereka memang tidak pernah mendorongku untuk segera kembali pada jalurNya Tuhan, mereka bukan orang-orang yang peduli dan mengerti akan hal-hal semacam itu. Tapi mereka berhasil menjadi orang-orang penting dalam hidupku, menjadi orang-orang yang sampai saat ini aku anggap sebagai “truly mood booster” untuk menjadi ornag yang lebih baik. Mereka orang-orang yang benar-benar aku yakini sebagai sahabat sejati. Namun di satu sisi ketergantungan pada rokok dan alkohol tidak dapat aku hentikan mengingat sahabat-sahabat baruku ini juga melakukan hal yang sama dalam hidupnya. Bayangkan, aku dan sahabat-sahabatku nekad minum minuman keras di siang bolong di dalam lokasi kampus. Konyol memang, tapi itulah yang kami lakukan. Aku tidak pernah menganggap mereka sebagai penyebab dari semakin parahnya ketergantunganku terhadap rokok dan minuman keras. Toh, selama ini mereka tidka pernah memintaku untuk melakukannya dan aku benar-benar melakukannya atas dasar keinginanku sendiri.

Bukan hanya itu, aku mulai mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Selama dua tahun aku berpindah dari tempat kos yang satu ke tempat kos yang lain. Ada yang diusir karena ketahuan mencuri, ada yang diam-diam pindah karena aku tidak mampu membayar uang kos. Aku juga masih ingat benar waktu aku di”sidang” teman-teman satu kosan karena ketahuan mencuri. Waktu itu sekitar jam 10 malam dan mereka menyuruhku untuk segera meninggalkan kosan besoknya. Hahaha. Untuk kesekian kalinya aku diusir dan aku mulai terbiasa. Tapi tetap saja itu bukan merupakan hal yang menyenangkan, aku juga masih ingat dengan jelas malam harinya aku menangis sambil memanggil papaku yang sudah bertahun-tahun meninggal. Ya, malam itu aku benar-benar butuh papa yang semasa hidupnya sama sekali tidak pernah membuatku merasa bersalah. Papa yang tidak hanya marah waktu aku melakukan kesalahan tetapi sekaligus juga membalut luka dan membuatku yakin kalau dia adalah seorang papa yang benar-benar menyayangiku apa adanya.
Aku juga sempat menemukan seorang sahabat baru lagi. Kita benar-benar dekat, bahkan aku sering mengingap di kosannya. Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, aku juga mencuri uangnya. Hahaha. Buat orang lain yang tidak pernah menjadi pencuri, tindakanku ini benar-benar tindakan kurang ajar yang seharusnya tidak dilakukan. Dan hal itu memang benar. Tidak ada pembenaran buat mencuri atas dasar apapun. Namun (bukan bermaksud membela diri) sebenarnya tidak ada yang gampang dengan menyakiti orang lain, apalagi menyakiti sahabat sendiri. Semakin sering aku mencuri, semakin besar rasa bersalah yang aku rasakan. Dan semakin tinggi ketergantunganku terhadap rokok dan alkohol. Singkat cerita, sahabatku itu pada akhirnya mengerti apa yang aku lakukan dan dia memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi sahabatku. Siap atau tidak siap itulah konsekuensi yang harus aku terima, aku sadar dengan hal itu. Konyolnya, pada saat itu aku tidak siap untuk kehilangan seorang sahabat lagi. Tapi apa boleh buat, toh dia punya hak. Apalagi dia korban dari tindakanku. Hahaha. Dan akhirnya aku harus kehilangan sahabat lagi, kali ini sebagai akibat dari perbuatanku sendiri.

Sampai pada akhirnya aku tinggal di rumah kos yang sampai saat ini aku tempati. Sejak kepindahanku ke kosan yang ini, dosen-dosen mulai menawariku berbagai pekerjaan. Bukan pekerjaan yang mudah. Bayangkan setiap hari aku harus ke pelosok untuk mensurvey dan membagikan tabung LPG gratis. Belum lagi pada malam harinya aku harus ke kantor untuk melakukan tugas administrasi sampai pagi. Tapi tidak masalah buatku, yang penting aku bisa dapat uang dengan halal, tanpa mencuri. Pekerjaan ini benar-benar mengubah hidupku. Akhirnya aku bisa hidup mandiri tanpa harus mencuri dan menyakiti orang lain, aku benar-benar bahagia dengan keadaan ini. Walaupun sesekali muncul masalah-masalah. Tapi semua bisa diselesaikan.

Lagi-lagi aku terjatuh pada hal bodoh, yang bahkan sampai saat ini aku tidak percaya bahwa aku pernah melakukannya. Selama bekerja aku mulai menjalin hubungan dengan sahabatku sendiri, kita berbeda keyakinan. Dan bodohnya aku langsung setuju waktu ia memintaku melakukan hubungan seks. Jujur, aku cuma ingin membuat dia senang. Di depannya aku berusaha menunjukkan bahwa selama ini aku juga berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan hubungan seks sebelum menikah. Aku tidak ingin membuatnya berpikir kalau dia adalah tipe orang brengsek yang meminta hal-hal yang seharusnya belum waktunya ia pinta. Dan selama setahun lebih kita melakukan hubungan seks sebelum menikah.
Rasa bersalah yang aku alami semakin besar, dan aku semakin malu untuk bertemu dengan Tuhan. Bahkan kadang aku merasa seperti seorang pelacur yang dipanggil ke rumahnya hanya untuk berhubungan intim dengannya, dan selama melakukan hal itu aku benar-benar membenci diri sendiri yang pada akhirnya berujung pada keputusanku untuk menjauh dari Tuhan. Bayangkan rasanya bila setiap minggu kamu harus beribadah ke gereja dan sebelum ke gereja kamu melakukan hal yang tidak boleh kamu lakukan, melakukan hal-hal yang merupakan kekejian buat Tuhan. Kehidupanku secara materi benar-benar tercukupi. Selain pekerjaan-pekerjaan baru, dia juga termasuk golongan orang kaya yang selalu memberikan bantuan sehingga aku tidak pernah kekurangan secara materi. Namun rasa bersalah yang benar-benar besar membuatku merasa mati juga tidak lebih baik buatku.
Aku masih ingat bagaimana ekspresinya waktu melihatku menolak melakukan hubungan seks dengannya. “Lho, kita kan ga ngapa-ngapain, Mar…” Dia selalu mengatakan hal itu sewaktu aku meminta untuk berhenti melakukan hubungan seks. Yaaa…ternyata buat dia apa yang kita lakukan selama ini bukan apa-apa. Hahaha. Pada akhirnya dia setuju untuk tidak melakukan hubungan seks, walaupun dia masih sering (secara sembunyi-sembunyi) melakukan hal yang tidak pantas dia lakukan terhadapku. Dan bodohnya lagi-lagi aku cuma diam, terlalu takut mengecewakan. Hahaha.
Hampir dua tahun menjalani hubungan akhirnya kita putus. Dia yakin kalau aku selingkuh dengan sahabatku sendiri. Aku juga tidak mau pikir panjang, karena jujur, aku benar-benar capek menjadi orang lain. Benar-benar muak melakukan hal-hal yang tidak ingin aku lakukan. Hari pertama putus, aku tidak ambil pusing dengan semua alasannya dan benar-benar merasa lega akhirnya dapat “bebas” dari hal-hal yang tidak aku inginkan. Namun di hari kedua aku baru menyadari kalau sebagian besar temanku menganggap aku benar-benar selingkuh dengan sahabatku sendiri. Menyadari hal ini aku benar-benar marah. Marah karena selama ini aku merasa aku sudah melakukan setiap buat hal buatnya, melanggar prinsip-prinsip yang selama ini aku pegang dan aku juga mau hidup jauh dari Tuhan hanya untuk menyenangkannya.

Jujur kadang aku sering berpikir kenapa dari dulu aku harus mengalami hal-hal yang seperti ini. Di saat aku benar-benar butuh kasih sayang orangtua secara utuh, keluarga malah bertengkar hebat, bahkan aku sempat melihat usaha papa untuk bunuh diri. Waktu keadaan mulai membaik, papa meninggal secara mendadak. Waktu aku butuh dukungan dari mama, mama justru menjadi orang yang paling lemah, menjadi orang yang paling stress dan sakit-sakitan bahkan harus mengalami ketergantungan obat penenang dosis tinggi selama dua tahun lebih. Waktu aku ingin melakukan hal yang bisa membuat keluarga bangga, mama malah berkata kalau aku ini anak bikin sial. Waktu aku berusaha hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang lain, pada kenyataannnya aku harus menyakiti banyak orang. Waktu aku ingin merasa bahagia dengan menjadi pacar seseorang, yang ada aku malah menanggung beban mental akibat rasa bersalah yang besar. Waktu aku merasa sudah melakukan hal-hal yang bahkan tidak ingin aku lakukan, aku malah diomongin yang aneh-aneh.
Kadang aku merasa Tuhan tak jauh berbeda denganku, suka berbohong. Tuhan selalu berbohong dengan memberikan janji-janji yang terlanjur membuatku berharap banyak. Kadang aku merasa Tuhan itu adalah makhluk yang paling egois. Hanya untuk menunjukkan kebesaran-Nya Dia tega membawaku ke dalam hidup yang seperti ini. Aku juga berpikir, kalau Dia Tuhan yang sanggup melakukan apa saja. Termasuk melakukan hal-hal yang dapat mencegahku melakukan tindakan-tindakan bodoh yang membuat hidupku semakin kacau.

Yaaa….sebenarnya kalau boleh milih, aku tidak ingin kehidupan yang seperti ini. Aku ingin kehidupan normal yang dialami banyak orang. Tapi satu hal yang aku pelajari, what doesn’t kill me makes me stronger, mungkin kalau tidak mengalami hal-hal seperti ini aku tidak akan menjadi anak yang beda dengan orang lain. Aku hanya akan menjadi anak yang manja yang bakal cepat menyerah dengan keadaan. Tuhan juga mungkin mengerti kalau aku termasuk tipe orang yang tidak akan percaya sebelum melihat. Mungkin dengan memberikan kehendak bebas kepadaku Tuhan ingin membuktikan bahwa hidup jauh dari Tuhan atas dasar alasan apapun hanya akan membawa kita ke dalam penderitaan. Tapi pada kenyataannya Tuhan tidak benar-benar meninggalkan. Buktinya dari sekian banyak hal tidak menyenangkan yang aku alami Tuhan masih memberikan pengertian kenapa hal-hal itu harus aku alami dan aku juga melihat kalau hal-hal itu juga untuk kebaikanku sendiri. Tuhan juga dengan keras menegurku bahwa hidup tanpa mengandalkan Tuhan akan membawaku kepada hidup yang sia-sia. Dan aku benar-benar mengalami hal itu. Selama ini aku benar-benar mengandalkan kekuatan sendiri dan beberapa orang yang aku anggap sebagai sahabat. Tapi orang-orang yang aku andalkan, termasuk aku sendiri, tetap saja seorang manusia yang punya banyak kelemahan. Aku dan sahabat-sahabat yang aku andalkan bukuan Tuhan yang punya kuasa untuk membawaku ke hidup yang baik. Aku dan orang-orang yang aku andalkan bukan Tuhan yang paling mengerti bagaimana seharusnya hidup itu, karena aku dan mereka bukan Tuhan yang menciptakan hidup. Hal-hal yang aku alami selama ini rasanya seperti teguran keras dari Tuhan. Seperti kata seorang sahabatku, melalui keadaan yang tidak nyaman ini, rasanya Tuhan ingin berkata padaku bahwa aku memang harus terlihat pintar di hadapan orang lain tetapi jangan menjadi orang yang merasa pintar di hadapan Tuhan.
Lewat hal-hal yang tidak mudah ini aku juga semakin menyadari bahwa kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan merupakan sebuah hasil akhir. Dan untuk mencapai hasil akhir itu mungkin aku memang harus melewati proses seperti ini. Yaa….intinya, sometimes happiness rises little longer than we expected and I really trust that someday I’ll reach the God’s promise for me, the truly happiness.

Rabu, 27 Januari 2010

...dan mari kita lebih menghargai Tuhan.

Baru-baru ini saya membaca tulisan teman yang menjelaskan pendapatnya soal larangan menyabut nama Tuhan dengan sembarangan. Isinya sederhana tapi sangat nyelekit dan berhasil membuat saya berpikir tentang hal ini.

Kalau boleh jujur kita, manusia, sering banget dengan mudahnya ngucapin nama Tuhan. Yaaa…. coba inget-inget’lah. Kalau kata teman saya, dikit-dikit bilang “Ya Tuhan, Ya Robbi, Ya Allah, My God, My Lord…” dan sebagainya. Bahkan kalau kita ingat-ingat lagi, banyak juga orang yang ngomong “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar!” waktu lagi menganiaya orang lain.
Buset dah….kalau dipikir-pikir gampang banget kita nyebut nama Tuhan! Padahal coba deh buka lagi kitab sucinya, ada kok perintah buat ga nyebut nama Tuhan dengan sembarangan.

Kalo di Alkitab, coba deh buka Keluaran 20:7, “Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan, sebab Tuhan akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.”
Kalo di Al-quran di Al-Baqarah 2:224, “Janganlah kamu jadikan Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertaqwa dan menjalankan ….. di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Penyayang.”
(maap, yang di Al-Quran cuma tahu itu =p)

Hmmm…kalau dipikir-pikir napa ya Tuhan buat larangan ini? Udah tau mulut itu susaaaaaah……. banget ngontrolnya, masih aja dibuat perintah kayak gini. Saya juga sempat nanya kayak gitu kok.
Menurut saya, Tuhan membuat larangan ini bukan karena Tuhan gila hormat. Karena tanpa penghormatan dari kita pun Tuhan tetap jadi satu pribadi yang mampu membuktikan eksistensiNya (jiaaaaaahh…bahasanya…). Kalau ditanya tentang apa maksud Tuhan nyiptain perintah ini saya juga tidak tahu pasti, tapi yang saya yakin waktu kita menjalankan perintah Tuhan, yang manapun, itu menunjukkan bukti dari cinta kita (cieee..romantis euy!) ke Tuhan. Waktu kita ga sembarangan nyebutin nama Tuhan berarti kita sayang sama Tuhan. Tuhan ga butuh cinta dari kita, tapi Tuhan SUKA sama cinta yang kita kasih buat Dia. I think that’s the point. Jadi, sekali lagi, larangan ini bukan berarti menjadikan Tuhan sebagai something exclusive yang ga bisa dijangkau semua orang.

Well, Tuhan itu pribadi yang terbuka dan bisa dijangkau oleh siapa saja. Yap, itulah kemurahan Tuhan! Yaaaaa… intinya jangan menyalahgunakan kemurahan Tuhan. Tuhan itu murah hati, tapi bukan murahan.

Selasa, 26 Januari 2010

...dan saya pun berpikir sejenak.

Baru-baru ini saya membaca tulisan teman. Tulisan sederhana yang diposting di note facebook. Judulnya Tuhan Murahan.

Hahaha. Ya... jujur yang pertama kali membuat saya membaca tulisan ini adalah judulnya yang nyeleneh. Tapi setelah saya membaca, isinya cukup membuat saya berpikir.
Inti dari tulisan ini adalah tentang kebiasaan orang mengumbar-umbar nama Tuhan di manapun. Ya di dunia maya, di dunia nyata.

Coba deh diinget-inget lagi. Seberapa sering kita nulis status yang ada kata Tuhannya... Belum lagi di dunia nyata, dikit-dikit ngomong, Ya Tuhan, My God, Ya Allah...

Ga masalah sih selama kita bisa nempatin omongan. Tapi kadang penyebutan nama Tuhan kita lakukan dengan sembarangan kan??
Coba cek
di Alkitab... Kel 20:7 ditulis "Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan."
di Al-Qur'an...

Senin, 25 Januari 2010



well, she teaches me a lot about unconditional happiness. bless her.